Latar Belakang
Kebebasan pers merupakan hak fundamental dalam demokrasi yang memungkinkan warga negara, termasuk mahasiswa, untuk menyampaikan informasi, opini, dan kritik tanpa rasa takut akan intimidasi atau pembalasan. Di kampus, Lembaga pers dan mahasiswa memiliki peran strategis dalam mengawal transparansi kebijakan, mengkritisi persoalan akademik, serta menyuarakan kepentingan mahasiswa secara lebih luas. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan jumlah kasus represif terhadap Lembaga pers dan mahasiswa yang memunculkan kekhawatiran mengenai keberlangsungan kebebasan berpendapat di lingkungan akademik.
Secara normatif, kebebasan pers telah dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, namun dalam praktiknya, kebebasan tersebut belum sepenuhnya terwujud di kampus. Tindakan represif yang dilakukan oleh pihak kampus atau aparat negara terhadap mahasiswa sering kali didasari oleh pemberitaan kritis atau peliputan aksi demonstrasi yang dianggap mengganggu stabilitas kampus. Kondisi ini berpotensi membungkam suara mahasiswa dan mereduksi peran pers kampus sebagai pengawas sosial.
Di beberapa kasus, tindakan represif tidak hanya terjadi dalam bentuk kekerasan fisik tetapi juga melalui intimidasi verbal, ancaman sanksi akademik, pembredelan media kampus, hingga kriminalisasi terhadap mahasiswa yang meliput aksi. Situasi ini menciptakan iklim ketakutan yang pada akhirnya melemahkan semangat jurnalisme kampus. Berdasarkan realitas tersebut, penelitian ini dilakukan untuk menggali lebih dalam pengalaman mahasiswa pers dalam menghadapi tindakan represif, bentuk dukungan yang mereka peroleh dari organisasi kampus, serta pandangan mereka mengenai kebebasan pers dan berekspresi.
Tujuan:
- Mengidentifikasi pelaku tindakan represif terhadap mahasiswa dan Lembaga pers.
- Menguraikan jenis-jenis tindakan represif yang dialami oleh mahasiswa dan Lembaga pers di berbagai kampus.
- Menganalisis persepsi mahasiswa dan Lembaga pers tentang kondisi kebebasan pers di lingkungan akademik.
- Mengkaji bentuk dukungan dari organisasi mahasiswa dan kampus dalam melindungi mahasiswa dan Lembaga pers
- Memberikan rekomendasi praktis untuk memperkuat perlindungan kebebasan pers di kampus.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan deskriptif. Teknik penentuan responden dilakukan secara purposive sampling dengan jumlah responden sebanyak 80 orang yang terdiri dari mahasiswa aktif dan anggota pers kampus serta jurnalis professional yang pernah mengalami tindakan represif.
Instrumen pengumpulan data berupa kuesioner terstruktur yang disebarkan secara daring melalui Google Form. Untuk memperluas jangkauan responden, kuesioner tersebut dibagikan melalui pesan WhatsApp dan platform media sosial organisasi mahasiswa.
Metode survei ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai pengalaman represif yang dialami mahasiswa pers, bentuk dukungan dari organisasi kampus, serta pandangan mahasiswa tentang kebebasan pers di lingkungan akademik. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan kecenderungan dan frekuensi kasus represif terhadap jurnalis kampus.
Hasil dan Pembahasan
Dari total 80 responden, sebanyak 46,9% mengaku tidak pernah mengalami tindakan represif saat mengikuti demonstrasi atau kegiatan jurnalistik. Namun, masih terdapat 37,5% responden yang menyatakan pernah mengalami tindakan represif lebih dari sekali, serta 16,2% responden yang menyatakan pernah mengalami tindakan represif satu kali.
Hasil ini menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar responden tidak pernah mengalami represif secara langsung, terdapat porsi signifikan yang pernah mengalami, bahkan lebih dari satu kali. Hal ini menggambarkan bahwa tindakan represif terhadap jurnalis atau peserta demonstrasi masih terjadi dan mempengaruhi sebagian pelaku jurnalistik.
Dari hasil survei tersebut juga mayoritas responden (82,7%) menyebut aparat negara (polisi, TNI) serta pejabat kampus sebagai pihak yang paling sering melakukan tindakan represif. Kekerasan fisik atau larangan meliput aksi (72,5%), ancaman verbal atau pembredelan media kampus (53,8%), pemanggilan ke rektorat atau surat teguran (38,8%). Selain itu, ditemukan juga adanya intimidasi berupa ancaman pemecatan dari organisasi kampus jika terus memberitakan isu-isu kontroversial.
Sebanyak 30% responden merasa bahwa kebebasan berekspresi di kampus masih sangat terbatas, terutama pada isu-isu sensitif seperti kritik terhadap kebijakan kampus atau pemerintah. Hal ini diperparah oleh ketidaktahuan mahasiswa pers mengenai perlindungan hukum yang dapat mereka akses saat mengalami tindakan represif.
Sebanyak 37,5% mahasiswa pers mengaku pernah mengalami kekerasan fisik saat meliput aksi unjuk rasa di kampus. Meskipun begitu, hanya sekitar 22,5% dari mereka yang berani melaporkan insiden tersebut kepada pihak kampus atau Lembaga hukum. Mayoritas merasa takut akan dampak yang lebih besar atau meragukan adanya tindak lanjut dari laporan mereka.
Dalam hal dukungan, sekitar 61,3% memberi perlindungan dan dukungan. Sementara Dukungan konkret seperti advokasi atau bantuan hukum hanya diperoleh oleh 33,8% mahasiswa pers. Di sisi lain, ada pula mahasiswa yang merasa enggan meminta bantuan karena khawatir dianggap sebagai pembuat masalah oleh pihak kampus.
Meski menghadapi tantangan, 41,3% responden tetap berkomitmen untuk terus aktif dalam kegiatan pers kampus karena merasa bahwa menyuarakan kebenaran adalah bagian dari perjuangan demokrasi. Mereka menyadari bahwa kolaborasi antarorganisasi pers kampus penting untuk memperkuat keberanian dan solidaritas dalam melawan tindakan represif. Beberapa responden juga mengusulkan adanya pelatihan khusus mengenai advokasi hak pers dan perlindungan hukum agar jurnalis kampus lebih siap menghadapi ancaman.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa tindakan represif masih menjadi hambatan signifikan bagi kebebasan pers mahasiswa di kampus. Dukungan dari organisasi mahasiswa masih sangat terbatas dan sering kali bersifat moral saja. Edukasi mengenai hak-hak pers dan advokasi perlu lebih ditingkatkan agar mahasiswa pers memiliki keberanian untuk melaporkan tindakan represif. Selain itu, penting bagi kampus untuk mendukung keberadaan pers mahasiswa secara aktif dengan memberikan jaminan perlindungan hukum dan kebebasan berekspresi.
Oleh karena itu, kampus sebaiknya membangun mekanisme perlindungan bagi jurnalis mahasiswa dan memastikan adanya ruang dialog terbuka antara pihak kampus dan pers mahasiswa dalam mengelola isu-isu sensitif secara transparan dan demokratis.
Jenis Penelitian: Kuantitatif dengan pendekatan deskriptif.
Metode: Survei daring menggunakan kuesioner terstruktur.
Instrumen: Kuesioner daring yang disebarkan melalui Google Form, WhatsApp, dan platform media sosial organisasi mahasiswa.
Teknik Sampel: Purposive Sampling
Populasi: Mahasiswa aktif dan mahasiswa yang terlibat dalam pers kampus.
Jumlah Responden: 81 mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia.