• Beranda
  • Produk
    • Pabelan Online
    • Youtube Pabelan
    • Majalah Pabelan
  • Arsip
    • Arsip Koran Pabelan
    • Arsip Koran 2024
    • Arsip LPM Pabelan
  • Kegiatan
    • Diskusi
    • Pelatihan
    • Penelitian
  • Company Profile
    • Pengurus
    • Anggota
  • Beranda
  • Produk
    • Pabelan Online
    • Youtube Pabelan
    • Majalah Pabelan
  • Arsip
    • Arsip Koran Pabelan
    • Arsip Koran 2024
    • Arsip LPM Pabelan
  • Kegiatan
    • Diskusi
    • Pelatihan
    • Penelitian
  • Company Profile
    • Pengurus
    • Anggota
Home Kegiatan Diskusi

Relevansi dan Wajah Baru Gerakan Mahasiswa di Era Digital

Aksi demonstrasi mahasiswa yang dahulu terpusat di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Solo kini mulai meluas ke berbagai kota kecil. Desentralisasi gerakan ini memperlihatkan bahwa keresahan sosial tidak lagi hanya terakumulasi di pusat, tetapi juga muncul kuat di tingkat akar rumput. Penyebaran akses informasi melalui media sosial membuat isu nasional lebih mudah dipahami oleh mahasiswa di daerah, meski pada saat yang sama maraknya informasi yang kabur juga memicu mobilisasi spontan dan petisi-petisi daring yang menghasilkan bandwagon effect.

Salah satu masalah utama anak muda hari ini adalah sempitnya ruang regenerasi politik akibat politik dinasti. Struktur kekuasaan seperti ini membuat mahasiswa bukan hanya berhadapan dengan kebijakan, tetapi juga dengan tembok oligarki yang menghambat aspirasi murni. Penyebaran propaganda di media sosial semakin memperkeruh keadaan karena pesan dibuat singkat dan menarik tanpa data. Media sosial punya kekuatan besar untuk jejaring, namun juga menjadi ruang rawan karena privasi hilang, data mudah dilacak, dan represi negara bisa muncul dalam bentuk surveillance state. Aktivis digital dapat dipantau melalui jejak digitalnya. Karena itulah banyak gerakan mahasiswa saat ini terjebak hanya pada simbol dan trending topik, bukan strategi jangka panjang.

Gerakan mahasiswa perlu memperkuat sejumlah aspek fundamental. Bahasa yang digunakan harus membumi, tidak terlalu akademis, dan dapat dipahami masyarakat luas. Setiap pernyataan publik sebaiknya berbasis data agar aman dari risiko kriminalisasi, terutama melalui UU ITE yang sering dianggap pasal karet. Penguatan kader intelektual sangat penting karena gerakan memerlukan orang yang kritis, bukan sekadar reaktif. Budaya membaca, menulis, dan berdiskusi harus hidup kembali di lingkaran organisasi mahasiswa. Selain itu, akar gerakan harus diperluas hingga masyarakat umum agar tidak rapuh terhadap tekanan eksternal. Gerakan yang tidak terpusat terbukti lebih adaptif dan tahan banting, meski berisiko memunculkan kekacauan koordinasi ketika menghadapi situasi represif.

Sejarah juga menunjukkan bahwa setiap era memiliki karakter gerakannya sendiri. Tahun 1928 ditandai solidaritas pemuda berbasis asrama dan semangat persatuan. Tahun 1966, gerakan didukung aliansi militer dengan fokus menggulingkan Soekarno. Tahun 1998, kekuatan mahasiswa dan elite oposisi bersatu menumbangkan Orde Baru. Tahun 2019, gerakan mengandalkan kekuatan narasi digital. Kini, gerakan 2025 berkembang menjadi jaringan rimpang, tidak terpusat, responsif, dan cair.

Pemerintah dinilai sulit diajak berpihak karena sibuk memperkuat posisinya sendiri melalui perangkat hukum. Karena itu, gerakan spontan sering menjadi strategi efektif menahan laju kebijakan yang tidak pro-rakyat. Juga kekhawatiran kriminalisasi aktivis melalui pasal penghasutan (pasal 160 KUHP) juga semakin besar, termasuk bagi admin media sosial.

Strategi advokasi juga menjadi perhatian. Gerakan mahasiswa perlu memiliki jaringan advokasi hukum agar siap ketika ada anggota atau jurnalis kampus yang ditangkap. Infrastruktur hukum, pengacara, dan jaringan media harus diperkuat. Gerakan rimpang memang responsif, namun kekurangan struktur membuat koordinasi hukum sering kacau dan tidak jelas siapa yang bertanggung jawab ketika massa menjadi korban represi.

Peran jurnalisme kampus juga menjadi penting sekaligus rentan. Mereka sering dianggap mengganggu tetapi tidak memiliki perlindungan hukum seperti pers profesional. Dalam situasi seperti ini, keberanian untuk meliput langsung korban, menggunakan data publik, dan mengarsipkan informasi menjadi sangat penting. Dokumentasi dan publikasi yang kuat dapat mencegah isu-isu strategis hilang begitu saja. Dalam dimensi ideologis dan kultural, banyak anak muda takut terlibat politik karena stigma “melawan”. Salah satu cara aman untuk tetap bersuara adalah lewat seni, musik, sastra, atau simbol keagamaan, yang dapat menjadi bentuk perlawanan simbolik. 

ShareTweet

Related Posts

Diskusi

Strategi Coping Mahasiswa dalam Menghadapi Stress Akademik maupun Organisasi

Desember 8, 2025
4
Diskusi

Manajemen Cashflow di Era Digital

Desember 5, 2025
3
Diskusi

Perubahan Iklim dan Krisis yang tak Terlihat

Desember 7, 2025
2
Diskusi

Polisi, Warga, dan Krisis Kepercayaan: Bisakah Penegakkan Hukum Dipercaya Lagi

November 15, 2025
11
Diskusi

Objektifikasi di Balik Layar Kampus Cantik

November 6, 2025
13
Diskusi

Gaya Hidup Instan Ala Gen Z

November 6, 2025
65

Unit Kegiatan Mahasiswa Lembaga Pers Mahasiswa Pabelan Universitas Muhammadiyah Surakarta

Gedung Unit Kemahasiswaan Lantai 4, Kampus 1 Universitas Muhammadiyah, Gatak, Pabelan, Kec. Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah 57169

Produk

Pabelan Online
Pabelan TV
Majalah Pabelan

Lainnya

Arsip Koran 2024
Arsip Pabelan
Kegiatan
Tentang

Social Media

Whatsapp Instagram Youtube
No Result
View All Result
  • Home
  • Purchase JNews
  • Pre-sale Question
  • Support Forum
  • Back to Landing Page

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

-
00:00
00:00

Queue

Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00