Dalam praktiknya, proses hukum di kepolisian sering kali tidak transparan dan sarat kepentingan. Misalnya, untuk mengeluarkan seseorang yang ditangkap, kerap kali diperlukan uang atau “biaya tambahan” di luar ketentuan resmi. Cerita-cerita dari lapangan juga menunjukkan bagaimana pembebasan teman-teman aktivis atau warga yang ditangkap harus melalui birokrasi yang berbelit, dan sering kali tidak sesuai dengan aturan hukum yang seharusnya. Situasi ini diperburuk oleh budaya organisasi yang sangat hierarkis, di mana anggota di lapangan harus “manut” kepada atasan. Akibatnya, inisiatif dan moral individu yang ingin menegakkan keadilan sering terhambat oleh tekanan struktural.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apa yang sebenarnya diharapkan masyarakat dari polisi? Setelah reformasi, publik berharap Polri menjadi institusi yang profesional, transparan, dan berorientasi pada pelayanan publik dan bukan hanya sekadar alat kekuasaan. Namun, harapan itu tampaknya belum terwujud. Banyak kalangan menilai bahwa Polri masih berperan sebagai “kepanjangan tangan” dari penguasa, bukan sebagai pelindung masyarakat. Secara struktur, Polri memang berada langsung di bawah Presiden, dan bahkan pemilihan Kapolri dilakukan tanpa proses meritokrasi yang terbuka.
Krisis kepercayaan masyarakat terhadap Polri juga dipicu oleh kelambanan kinerja, kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum, serta penyalahgunaan kewenangan. Kasus-kasus yang melibatkan oknum polisi, mulai dari kekerasan, pemerasan, hingga keterlibatan dalam kejahatan seperti pencurian dan perampokan telah menambah luka masyarakat terhadap lembaga ini. Dari laporan Indonesia Police Watch (2009), polisi bahkan dikenal sebagai institusi yang arogan, diskriminatif, lamban, dan sering melakukan pungutan liar. Citra semacam ini sulit dihapus selama reformasi yang dijanjikan hanya berhenti di tataran wacana.
Secara kelembagaan, Polri memang bersifat memaksa dalam menegakkan keteraturan. Namun, dalam praktiknya, keterpaksaan itu sering berubah menjadi bentuk kekuasaan yang represif. Polisi menganggap keteraturan masyarakat sebagai tanggung jawab mereka, tetapi cara yang ditempuh sering kali mengabaikan rasa keadilan dan hak asasi warga.
Dalam konteks ini, muncul gagasan perlunya lembaga pengawas independen di luar Polri. Lembaga ini berfungsi untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi penegakan hukum. Namun, lembaga semacam ini harus benar-benar independen, bukan sekadar simbolik atau dibentuk oleh orang-orang dari institusi yang sama. Idealnya, lembaga tersebut terdiri dari unsur internal kepolisian, masyarakat sipil, aktivis HAM, pengamat politik, dan perwakilan pemerintah. Dengan demikian, pengawasan terhadap polisi bisa berjalan objektif dan tidak terjebak dalam kepentingan politik atau solidaritas korps.
Upaya reformasi Polri sendiri sebenarnya sudah beberapa kali diinisiasi, bahkan disebut-sebut pernah diusulkan oleh Prabowo Subianto. Namun ironisnya, inisiatif tersebut justru “didahului” oleh Polri sendiri, yang membentuk tim reformasi berisi 52 perwira tinggi dan menengah. Langkah ini dinilai kurang efektif karena masih didominasi oleh orang dalam institusi yang hendak direformasi, sehingga rawan konflik kepentingan. Selain itu, jika unsur politik terlalu kuat dalam tim reformasi, maka arah perubahan pun dikhawatirkan menjadi tidak netral.
Untuk membangun kembali kepercayaan publik, Polri dapat belajar dari negara-negara lain yang memiliki sistem pengawasan polisi lebih terbuka dan akuntabel. Misalnya, dengan membentuk lembaga independen yang berwenang melakukan audit kinerja, menerima aduan masyarakat, dan menindak oknum tanpa intervensi politik.
Peran media sosial dalam membentuk persepsi publik terhadap kinerja kepolisian
Perkembangan media sosial telah mengubah cara masyarakat berinteraksi dengan lembaga kepolisian. Kini, setiap warga memiliki kesempatan untuk menjadi pengamat sekaligus penyampai informasi melalui media digital. Fenomena ini melahirkan bentuk baru dari partisipasi publik yang dikenal sebagai “citizen journalism”, di mana masyarakat secara mandiri dapat melaporkan kejadian, mengungkap penyalahgunaan kekuasaan, atau memberikan kritik terhadap aparat penegak hukum.
Melalui peran ini, media sosial bukan hanya menjadi wadah untuk mengungkap kasus, tetapi juga sarana kontrol sosial yang efektif. Publik dapat mengawasi, mengkritisi, dan menuntut transparansi secara langsung, tanpa harus menunggu media arus utama atau lembaga resmi. Kecepatan dan jangkauan media sosial membuat berbagai isu terkait kepolisian dapat segera mendapat perhatian luas, memaksa institusi untuk lebih terbuka dan responsif terhadap kritik masyarakat.
Namun, di sisi lain, keterbukaan ini juga membawa tantangan. Informasi yang disebarkan melalui media sosial tidak selalu akurat dan bisa memunculkan misinformasi yang memperburuk citra institusi. Karena itu, peran citizen journalism harus diimbangi dengan tanggung jawab etika dan verifikasi fakta, agar tidak justru menimbulkan ketidakpercayaan baru berbasis hoaks atau manipulasi informasi.