Stres dapat muncul dalam dua bentuk, yaitu stres positif dan stres negatif. Dalam konteks organisasi, tekanan sering timbul baik dari pengurus maupun anggota, misalnya berupa deadline, beban tanggung jawab, serta tuntutan akademik yang berjalan bersamaan. Kondisi ini dapat menurunkan motivasi belajar karena ketika stres meningkat, emosi menjadi tidak stabil dan overthinking semakin sering terjadi. Banyak mahasiswa akhirnya kebingungan menentukan prioritas, apakah harus mendahulukan akademik atau organisasi. Padahal secara umum organisasi berfungsi untuk mengembangkan soft skill, sehingga mahasiswa tetap perlu menjaga keseimbangan agar tidak mengorbankan aspek akademik.
Salah satu cara mengelola stres dan prioritas adalah menggunakan prinsip bahwa tidak semua yang tampak mendesak itu penting, dan tidak semua yang terlihat penting itu mendesak. Prinsip ini dijelaskan melalui empat kuadran:
(1) hal yang penting dan mendesak,
(2) penting tetapi tidak mendesak,
(3) tidak penting namun mendesak, dan
(4) tidak penting dan tidak mendesak.
Dengan memahami kuadran ini, mahasiswa dapat menentukan fokus dan menghindari aktivitas yang tidak memberikan dampak signifikan.
Untuk menjalani peran ganda sebagai mahasiswa dan organisator, diperlukan keterampilan manajemen waktu, kemampuan bersikap asertif, serta keberanian untuk menolak ajakan yang tidak sesuai prioritas. Self-limitation atau kemampuan membatasi diri juga penting agar tidak memaksakan kapasitas di luar kemampuan. Dalam menghadapi tekanan, terdapat dua strategi coping mechanism: problem-focused coping, yaitu berfokus pada penyelesaian masalahnya secara langsung, dan emotion-focused coping, yaitu mengelola respons emosional yang muncul akibat masalah tersebut. Langkah paling mendasar adalah mengenal diri sendiri dengan memahami batas, kebutuhan, serta ritme kerja pribadi. Lingkungan yang suportif juga menjadi faktor penunjang penting dalam menjaga kesehatan mental.