Tanggapan Masyarakat terhadap Fenomena Eksploitasi Anak
Latar Belakang
Anak merupakan generasi penerus bangsa yang akan melanjutkan cita-cita bangsa serta menjadi sumber daya manusia untuk pembangunan nasional. Dalam menjalankan perannya ini, anak harus mendapatkan hak-haknya dengan penuh dan maksimal agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Meskipun begitu, tidak semua anak memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pemenuhan haknya.
Ketidakmampuan memenuhi hak-hak anak dapat menimbulkan beban baru bagi mereka, yaitu harus bekerja demi membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Akibatnya, anak-anak sering kali terpaksa bekerja, bahkan turun ke jalan menjadi pedagang asongan, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023, jumlah pekerja anak di Indonesia mencapai 1,01 juta jiwa dan mayoritas pekerja anak berusia 5 – 17 tahun yang masih bersekolah. Hal ini cukup memprihatinkan, anak-anak yang seharusnya fokus belajar harus menanggung beban untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya.
Perlakuan diskriminatif atau sewenang-wenang terhadap anak demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik, tanpa memperhatikan perkembangan fisik, mental, dan status sosial mereka, merupakan bentuk eksploitasi yang merugikan anak. Anak-anak yang terpaksa mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya termasuk ke dalam anak yang tereksploitasi yang pemenuhan haknya tidak terpenuhi. Mereka kehilangan haknya untuk mengenyam bangku pendidikan dengan benar dan menikmati waktu bermainnya sebagai seorang anak-anak.
Eksploitasi anak menjadi fenomena yang sangat memprihatinkan yang memiliki dampak terhadap perkembangan anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Husin dan Guntara (2021) eksploitasi pada anak sebagai penjual asongan memiliki tiga dampak pada pendidikan anak, yaitu pada pendidikan formal memiliki dampak pada penurunan nilai rapor, putus sekolah, belum menguasai baca tulis hitung dengan optimal, keaktifan di sekolah menurun serta penguasaan pengetahuan dasar yang kurang. Pada pendidikan non formal berdampak pada anak tidak mendapatkan pendidikan non formal di samping pendidikan formal yang diikuti seperti TPA, TPQ, kursus atau kegiatan positif lainnya. Lalu, dampak pada pendidikan informal adalah pengajaran mengenai ilmu dasar oleh keluarga pada anak menurun bahkan tertinggalkan seperti pendidikan nilai agama, moral, maupun sosial.
Persepsi masyarakat terhadap eksploitasi anak akan beragam bergantung pada tingkat pendidikan, pengetahuan, dan kepedulian tiap-tiap individu. Sebagian masyarakat mungkin tidak terlalu memperhatikan mengenai fenomena eksploitasi anak ini. Di lain sisi, terdapat pula masyarakat yang peduli terhadap fenomena-fenomena eksploitasi yang terjadi pada anak-anak. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana tanggapan dan persepsi masyarakat terhadap fenomena eksploitasi anak.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana tanggapan dan persepsi masyarakat terhadap fenomena eksploitasi anak.
Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif atau penelitian yang menggunakan angka mulai dari pengumpulan data hingga campuran hasilnya. Penentuan responden dilakukan dengan teknik purposive sampling dengan responden berjumlah 146 orang dengan kriteria, masyarakat umum yang berusia lebih dari 17 tahun . Instrumen pengumpulan data menggunakan kuesioner yang berisi beberapa pertanyaan dengan media Google Form dan disebar melalui pesan WhatsApp dan story di media sosial lembaga.
Hasil Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Litbang LPM Pabelan pada periode bulan Oktober-November 2024 kepada masyarakat umum, mayoritas responden merupakan masyarakat yang berusia 17-22 tahun yaitu sebanyak 96 responden (65,7%). Lalu, sebanyak 18 responden (12,3%) merupakan masyarakat yang berusia 23-27 tahun. Mayoritas responden 61% merupakan masyarakat dengan pendidikan terakhir SMA, lalu sebanyak 32,2% merupakan masyarakat dengan pendidikan terakhir S1. Sisanya, merupakan masyarakat dengan pendidikan terakhir D4/D3 dan juga S2.
Selanjutnya mengenai pemahaman terkait isu eksploitasi anak, diperoleh hasil 71,2% responden memiliki pemahaman yang baik tentang eksploitasi anak, sementara 8,9% responden memiliki pemahaman yang sangat baik. Namun, masih terdapat 17,8% responden yang menunjukkan tingkat pemahaman yang kurang tentang eksploitasi anak, sementara 2% lainnya menyatakan tidak paham dengan adanya isu eksploitasi anak.
Berikutnya dari hasil penelitian ini, mayoritas responden sebanyak 93,2% mengaku pernah melihat anak di bawah umur (usia 5-10 tahun) bekerja. Sementara, 6,8% menjawab tidak pernah melihat anak di bawah umur bekerja. Mengenai intensitas responden melihat anak di bawah umur bekerja, mayoritas responden dengan persentase 45,2% menyatakan bahwa sering melihat fenom eksploitasi anak, bahkan 7,5% responden menjawab sangat sering melihat eksploitasi anak. Sedangkan, 43,8% mengaku jarang melihat eksploitasi anak. Sisanya menyatakan bahwa tidak pernah melihat eksploitasi anak. Hal ini menunjukkan bahwa banyak anak yang bekerja di usia yang sangat muda (usia 5-10 tahun).
Berikutnya, mengenai bentuk-bentuk eksploitasi anak yang sering masyarakat lihat, dari hasil riset yang dilakukan, kami mengkategorikan menjadi tiga bentuk yaitu pedagang, pengemis, dan pengamen. Sebanyak 34% responden menjawab bentuk eksploitasi yang paling sering mereka lihat adalah anak-anak yang menjadi pengemis. Lalu, 33% lainnya menjawab pedagang, dan 31% responden menjawab pengamen. Sementara sisanya menjawab sering melihat ketiganya.
Kami juga menanyakan mengenai pendapat responden terkait hukum anak di bawah umur yang bekerja. Mayoritas responden 85,6% berpandangan bahwa anak di bawah umur tidak diperbolehkan bekerja secara hukum. Sebanyak 8,2% responden menjawab mungkin diperbolehkan, lalu 4,1% responden menjawab tidak tahu mengenai hukum anak di bawah umur yang bekerja. Kemudian, sisanya sebanyak 2,15 berpandangan bahwa anak di bawah umur diperbolehkan secara hukum untuk bekerja.
Selanjutnya mengenai pendapat responden ketika melihat anak di bawah umur bekerja, mayoritas responden 97,3% menjawab tidak setuju dengan fenomena ini. Kemudian, sisanya sebanyak 2,7% menjawab setuju dengan fenomena eksploitasi anak ini. Ketika diberikan pertanyaan mengenai bagaimana perasaan responden saat melihat anak di bawah umur yang bekerja, terdapat bervariasi jawaban. Mayoritas responden merasa miris, kasihan, iba, dan sedih. Kemudian, terdapat beberapa responden yang berpandangan bahwa fenomena ini terjadi akibat dari efek samping permasalahan ekonomi yang membuat anak terpaksa harus bekerja. Beberapa responden yang lain juga menanyakan terkait keberadaan pemerintah dalam menangani fenomena anak yang tereksploitasi ini.
Berikutnya kami juga menanyakan apakah responden merasa terganggu ketika melihat fenomena ini. Dari data yang terkumpul, sebanyak 73,3% responden mengaku merasa terganggu ketika melihat hal tersebut. Sisanya sebanyak 26,7% merasa tidak terganggu dengan fenomena ini. Berkaitan dengan pertanyaan sebelumnya, mayoritas responden merasa terganggu karena merasa miris, kasihan, iba dan sedih.
Pembahasan berikutnya mengenai alasan anak di bawah umur bekerja, sebanyak 59% responden beranggapan bahwa anak di bawah umur bekerja karena disuruh oleh orang tuanya. Lalu, sebanyak 16% responden menganggap bahwa alasan anak di bawah umur bekerja adalah karena faktor ekonomi. Sebanyak 12% responden beranggapan anak di bawah umur bekerja untuk mencari uang jajan. Sisanya, sebanyak 11% responden beranggapan adanya alasan lain yang melatarbelakangi anak di bawah umur bekerja, seperti untuk tugas sekolah, ikut dengan temannya, dan terpaksa karena keadaan.
Kami juga menanyakan mengenai dimana responden sering melihatt anak biasa berjualan, didapatkan 3 jawaban besar, yaitu pinggir jalan, lampu merah, dan warung makan. Sebanyak 38% responden menjawab biasa melihat anak berjualan di pinggir jalan. Kemudian, sebanyak 36% responden menjawab lampu merah. Sisanya, sebanyak 26% responden menjawab sering melihat di warung makan.
Berikutnya, mengenai waktu biasa melihat anak bekerja, sebagian besar responden melihat anak bekerja pada pukul 11.00 – 20.00. Kemudian, sebanyak 24 responden melihat anak bekerja pada pukul 21.00 – 23.00. Sebanyak 16 responden melihat pada pukul 06.00 – 11.00. Sisanya, sebanuak 2 responden sering melihat anak yang bekerja pada dini hari.
Selain memberikan pertanyaan, kami juga meminta pandangan responden mengenai solusi yang harus diperbaiki dari fenomena eksploitasi anak ini. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, terdapat berbagai pandangan yang disampaikan. Salah satu yang paling sering disampaikan adalah memberikan edukasi kepada orang tua untuk meningkatkan kesadaran akan hak-hak anak dan tanggung jawab mereka. Responden juga menekankan perlunya penegakan hukum yang lebih tegas untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi. Di sisi lain, sejumlah responden mengusulkan langkah-langkah peningkatan kesejahteraan keluarga, seperti penyediaan lapangan pekerjaan yang layak bagi orang tua, bantuan ekonomi langsung dari pemerintah, dan pemerataan akses pendidikan melalui beasiswa atau sekolah gratis. Tidak sedikit pula yang menyarankan perlunya pembenahan regulasi untuk memperketat perlindungan anak dan memperhatikan hak-hak mereka secara lebih menyeluruh.