Skip to content
  • Beranda
  • Pabelan Online
  • Youtube Pabelan
  • Majalah Pabelan
  • Arsip
    • Arsip Koran Pabelan
    • Arsip Koran 2024
    • Arsip LPM Pabelan
  • Kegiatan
    • Diskusi
    • Pelatihan
    • Penelitian
  • Company Profile
    • Pengurus
    • Anggota
  • Beranda
  • Pabelan Online
  • Youtube Pabelan
  • Majalah Pabelan
  • Arsip
    • Arsip Koran Pabelan
    • Arsip Koran 2024
    • Arsip LPM Pabelan
  • Kegiatan
    • Diskusi
    • Pelatihan
    • Penelitian
  • Company Profile
    • Pengurus
    • Anggota

Stop Victim Blaming Bangun Lingkungan Aman dari Pelecehan Seksual

admin by admin
Juli 8, 2025
in Diskusi
0

Oleh; Syahrowani Nur Syifa

Pelecehan seksual merupakan segala bentuk perilaku yang bernuansa seksual dan tidak diinginkan oleh korban. Perilaku ini bisa muncul dalam bentuk fisik maupun verbal, serta tidak selalu melibatkan sentuhan langsung. Salah satu contoh umum dari pelecehan seksual verbal adalah catcalling—komentar atau siulan bernada seksual di tempat umum—yang sering kali dianggap remeh padahal merupakan bentuk pelecehan yang nyata. Pelecehan seksual juga tidak terbatas pada bagian tubuh tertentu dan dapat terjadi di mana saja, termasuk di lingkungan kerja, transportasi umum, hingga ruang digital.

Masalah pelecehan seksual di Indonesia tergolong mengkhawatirkan. Data menunjukkan bahwa sekitar 82% perempuan Indonesia pernah mengalami bentuk pelecehan seksual. Fakta ini mengindikasikan bahwa kekerasan seksual bukanlah persoalan individual semata, melainkan persoalan struktural dan sosial yang harus disadari bersama. Namun, korban seringkali memilih diam karena merasa tidak aman untuk bersuara, takut diintimidasi, dipermalukan, atau bahkan mengalami pelecehan kembali jika mereka melapor.

Victim Blaming dan Dampaknya

Victim blaming adalah tindakan menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya. Fenomena ini sering ditemukan di media sosial, seperti TikTok, di mana korban dikomentari secara negatif—entah karena pakaiannya, sikapnya, atau pilihannya untuk diam. Padahal, kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang dirasakan korban. Sikap menyalahkan justru memperburuk kondisi psikologis korban dan menjadi salah satu alasan mengapa banyak korban enggan melapor. Dalam menghadapi kasus pelecehan seksual, dukungan sosial yang empatik dan aman jauh lebih penting daripada menilai atau memberikan saran yang merendahkan.

Cara Menanggapi Pelecehan: Metode 5D

Ketika menyaksikan tindakan pelecehan seksual, ada pendekatan intervensi yang bisa dilakukan oleh orang sekitar, yakni metode 5D:

  • Direct: Menegur pelaku secara langsung, namun harus dipertimbangkan apakah situasinya aman bagi korban dan penolong.
  • Distract: Mengalihkan perhatian dengan menciptakan gangguan situasional.
  • Delegate: Melaporkan kejadian kepada pihak yang berwenang seperti petugas keamanan.
  • Delay: Memberikan dukungan kepada korban setelah kejadian, misalnya menanyakan kondisi dan menawarkan bantuan.
  • Document: Merekam kejadian untuk dijadikan bukti, namun harus digunakan secara etis dan tidak disebarluaskan sembarangan.
Pentingnya Edukasi Seksual Sejak Dini

Edukasi seksual sebaiknya diberikan sejak dini, terutama ketika anak-anak mulai menunjukkan rasa ingin tahu mengenai tubuh dan relasi. Tujuan dari edukasi ini adalah untuk memberikan pemahaman tentang batasan tubuh, rasa aman, serta hak atas integritas diri. Edukasi yang tepat juga dapat mencegah terjadinya pelecehan dan membangun kepercayaan diri dalam menyampaikan pengalaman yang tidak menyenangkan.

 Konsep Diri dan Dukungan Sosial

Dalam konteks psikologis, penting untuk memahami perbedaan antara ideal self dan self-concept. Ideal self adalah gambaran tentang diri yang kita inginkan, seringkali dipengaruhi oleh apa yang kita lihat di lingkungan sekitar. Sementara self-concept mencerminkan penilaian kita terhadap diri sendiri berdasarkan pengalaman dan interaksi sosial. Ketika seseorang mengalami pelecehan, dukungan sosial menjadi kunci pemulihan. Namun, bentuk dukungan harus sensitif, karena tidak semua saran atau komentar yang terlihat baik bisa diterima secara positif oleh korban. Mendengarkan dengan empati dan tidak menghakimi jauh lebih berarti daripada sekadar memberi nasihat.

Previous Post

Dilema Demokrasi di Era Digital

Next Post

Gaya Baru Militerisme di Ruang Sipil

Next Post

Gaya Baru Militerisme di Ruang Sipil

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recent Posts

  • Strategy Marketing
  • Keseimbangan Antara passion dan Stabilitas dalam Dunia Kerja
  • Politik Jalanan Sebagai Cermin Kegagalan Politik Parlemen
  • Bedah Buku Hidup Bersama Raksasa: Manusia dan Pendudukan Perkebunan Sawit
  • Jejak Komunisme di Kota Solo

Recent Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.

Archives

  • Oktober 2025
  • September 2025
  • Agustus 2025
  • Juli 2025
  • Juni 2025
  • Mei 2025
  • April 2025
  • Maret 2025
  • Februari 2025
  • Desember 2024
  • November 2024
  • Juli 2024
  • Juni 2024
  • Mei 2024
  • April 2024
  • Maret 2024

Categories

  • Blog
  • Diskusi
  • Kegiatan
  • Pelatihan
  • Penelitian
  • Pengurus

Unit Kegiatan Mahasiswa Lembaga Pers Mahasiswa Pabelan Universitas Muhammadiyah Surakarta

Gedung Unit Kemahasiswaan Lantai 4, Kampus 1 Universitas Muhammadiyah, Gatak, Pabelan, Kec. Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah 57169

Produk

Pabelan Online
Pabelan TV
Majalah Pabelan

Lainnya

Arsip Koran 2024
Arsip Pabelan
Kegiatan
Tentang

Social Media

Whatsapp Instagram Youtube
No Result
View All Result
  • Anggota
  • Arsip
  • Company Profile
  • Galeri
  • Homepage
  • Kegiatan
  • Majalah Pabelan
  • Pengurus

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.