Munculnya akun-akun media sosial bertema “kampus cantik” yang akhir-akhir ini marak di berbagai universitas, termasuk UMS Cantik. Akun semacam ini biasanya menampilkan foto-foto mahasiswa yang dianggap cantik atau menarik oleh admin, tanpa sepengetahuan atau izin dari individu yang diunggah. Seleksi yang dilakukan pun objektif, berdasarkan pandangan admin tentang siapa yang “layak” disebut cantik.
Fenomena ini menimbulkan beragam tanggapan dari mahasiswa. Di satu sisi, sebagian orang menganggapnya sebagai bentuk apresiasi terhadap kecantikan atau cara ringan untuk menunjukkan kebanggaan terhadap kampus. Namun di sisi lain, banyak pula yang menilai bahwa praktik semacam ini berpotensi menjadi bentuk objektifikasi perempuan, terutama ketika komentar-komentar yang muncul di kolom unggahan mengarah pada penilaian fisik atau berbau pelecehan.
Istilah “cantik” seharusnya tidak dipahami secara dangkal. Dalam konteks kampus, “cantik” tidak boleh hanya dimaknai dari segi penampilan fisik, melainkan juga mencakup kepribadian, etika, intelektualitas, dan kontribusi positif seseorang. Dengan demikian, perlu ada konsensus bersama di lingkungan kampus mengenai makna kecantikan yang benar dan tidak diskriminatif.
Fenomena akun semacam ini dapat berdampak negatif secara psikologis bagi pihak yang diunggah maupun yang tidak diunggah. Bagi yang fotonya diunggah tanpa izin, hal itu bisa menimbulkan rasa tidak nyaman, kecemasan, atau bahkan rasa malu, apalagi jika disertai komentar yang menjurus ke pelecehan. Sementara bagi mahasiswa lain yang merasa “tidak cukup cantik” menurut standar akun tersebut, bisa muncul gangguan citra tubuh (body image disturbance), rasa rendah diri, atau perasaan tidak berharga. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mempengaruhi kepercayaan diri dan kesehatan mental mahasiswa.
Apresiasi terhadap kecantikan bukan hal yang salah selama dilakukan dengan cara yang etis dan penuh rasa hormat. Namun, ketika bentuk apresiasi tersebut bergeser menjadi konsumsi visual semata tanpa memperhatikan privasi dan perasaan individu, maka hal itu berubah menjadi bentuk eksploitasi. Oleh karena itu, perlu adanya etika digital dan literasi media sosial di lingkungan kampus agar mahasiswa mampu menilai dan bersikap kritis terhadap fenomena seperti ini.
Dunia kampus seharusnya menjadi ruang aman bagi setiap individu, tanpa penilaian berbasis penampilan fisik. Kecantikan sejati bukan hanya soal rupa, tetapi juga tentang karakter, pemikiran, dan cara kita menghargai sesama. Kampus diharapkan dapat mengambil peran aktif dalam memberikan edukasi mengenai body positivity, kesetaraan gender, dan perlindungan privasi di dunia digital, agar fenomena serupa tidak berkembang menjadi praktik yang merugikan mahasiswa secara sosial maupun psikologis.