Pesantren selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang menanamkan nilai-nilai kemandirian, kesederhanaan, dan kedisiplinan kepada para santri. Di lingkungan pesantren, santri tidak hanya dididik untuk menguasai ilmu agama, tetapi juga untuk membentuk karakter dan tanggung jawab pribadi. Pesantren memiliki peran penting dalam membentuk generasi yang religius dan berakhlak, namun di tengah arus modernisasi dan globalisasi, pesantren menghadapi tantangan untuk mempertahankan tradisinya tanpa kehilangan relevansi dengan masyarakat luas.
Makna budaya pesantren di tengah perubahan sosial tidak terbatas pada praktik keagamaan yang dilakukan di pondok, melainkan juga mencakup cara berpikir, sikap hidup, dan nilai-nilai yang ditanamkan kepada santri. Budaya ini menekankan keseimbangan antara ilmu, moral, dan spiritualitas. Namun, dalam praktiknya, muncul persepsi bahwa pesantren merupakan lingkungan yang tertutup, terpisah dari dunia luar karena pembatasan sosial dan fisik. Padahal, pesantren sejatinya merupakan bagian dari masyarakat yang terus beradaptasi dengan perubahan sosial. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana pesantren dapat menjaga nilai-nilai tradisional sambil tetap terbuka terhadap inovasi dan perkembangan zaman.
Perbedaan pandangan juga muncul antara masyarakat umum dan para santri mengenai posisi pesantren dalam kehidupan sosial. Sebagian masyarakat masih menganggap santri sebagai kelompok yang paling memahami agama dan menjadi tolak ukur kebenaran moral. Namun, pemahaman agama tidak semata ditentukan oleh status sebagai santri. Dalam era digital saat ini, pengetahuan keagamaan dapat diakses oleh siapa saja dari berbagai sumber. Oleh karena itu, menjadi santri bukan berarti otomatis lebih tinggi derajat keilmuannya dibanding masyarakat umum. Justru, seseorang yang benar-benar memahami agama akan bersikap rendah hati dan terbuka terhadap perbedaan pandangan.
Dalam konteks tradisi, salah satu aspek yang banyak dibahas adalah bentuk penghormatan di lingkungan pesantren, seperti mencium tangan atau menunduk saat bersalaman dengan kiai atau ustaz. Praktik ini berakar dari nilai adab dan penghormatan terhadap guru, namun seringkali dipersepsikan sebagai bentuk feodalisme. Tradisi penghormatan ini tidak bisa disamakan dengan feodalisme selama dilakukan atas dasar keikhlasan dan pemahaman terhadap nilai-nilai spiritual. Masalah muncul ketika tradisi penghormatan berubah menjadi hierarki sosial yang kaku, di mana kiai dianggap selalu benar dan tidak boleh dikritik. Karena itu, penting untuk memahami bahwa penghormatan yang sejati tidak meniadakan sikap kritis, melainkan justru menumbuhkan rasa hormat yang disertai kesadaran moral dan intelektual.
Menyeimbangkan antara kritik sosial dan penghormatan terhadap nilai-nilai keagamaan menjadi hal penting yang juga disoroti. Kritik terhadap tradisi pesantren bukan berarti menolak agama, tetapi merupakan bentuk refleksi agar nilai-nilai pesantren tetap hidup dan relevan. Islam sendiri tidak menolak budaya selama tidak bertentangan dengan ajaran pokoknya. Oleh sebab itu, masyarakat perlu memiliki pandangan yang proporsional: menghormati tradisi keagamaan tanpa mengabaikan kebutuhan akan pembaruan sosial. Dengan cara ini, pesantren dapat terus menjadi sumber nilai, ilmu, dan kebijaksanaan yang selaras dengan perkembangan zaman.