Komunisme pada dasarnya lahir sebagai reaksi terhadap kapitalisme. Sebelum ide komunisme berkembang, terlebih dahulu muncul sosialisme yang menekankan perjuangan di bidang ekonomi, menentang ketidakadilan kapitalisme. Namun, komunisme bergerak lebih jauh ke ranah politik dengan tujuan menghapus hak milik pribadi dan membangun masyarakat tanpa kelas. Dalam konteks kehidupan masyarakat Hindia Belanda pada awal abad ke-20, tokoh agama masih memegang posisi sosial yang tinggi, sehingga ideologi baru yang menantang struktur sosial lama memperoleh perhatian khusus.
Di Indonesia, pemikiran komunis mulai masuk melalui jalur pergerakan rakyat. H.O.S. Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam (SI), menjadi salah satu figur penting yang membuka ruang bagi beragam pemikiran politik modern. Sarekat Islam sendiri muncul dari Solo pada awal 1900-an, dan sejak awal bergerak dari bidang ekonomi menuju ranah sosial-politik. Dari lingkungan inilah muncul sejumlah murid Tjokroaminoto yang kemudian menempuh jalannya masing-masing: Soekarno dengan nasionalismenya, Kartosuwiryo dengan Islamismenya, dan Semaoen yang berhaluan komunis.
Perkembangan komunisme semakin nyata dengan berdirinya ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) oleh tokoh Belanda, Sneevliet. ISDV menjadi pintu masuk ideologi kiri di Hindia Belanda. Organisasi ini kemudian bertransformasi menjadi PKH (Partai Komunis Hindia), dan pada Mei 1921 resmi berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak saat itu, PKI konsisten mengangkat isu-isu yang dekat dengan rakyat kecil, khususnya buruh dan petani.
Selepas kemerdekaan, PKI berkembang pesat hingga memuncak dalam pemberontakan Madiun tahun 1948 yang dipimpin Muso. Muso membawa orientasi Soviet, dengan gagasan revolusi radikal yang hendak menghapus sistem feodal dan menyatukan Indonesia ke dalam blok komunis internasional. Berbeda dengan Muso, D.N. Aidit sebagai generasi berikutnya memilih jalur parlementer dan pendidikan politik. Aidit berupaya menyesuaikan corak komunisme Indonesia dengan kondisi lokal, meskipun afiliasinya lebih dekat ke Tiongkok Maois.
Salah satu daerah yang menjadi basis paling kuat bagi PKI adalah Solo. Kota ini sejak awal sudah akrab dengan pergerakan rakyat, karena dari Solo pula lahir Sarekat Dagang Islam. Kondisi sosial masyarakat Solo ditandai dengan rasa ketidakpuasan terhadap feodalisme Kasunanan. Banyak buruh, tani, dan rakyat kecil yang merasa tertindas oleh struktur sosial lama. Situasi inilah yang memberi ruang bagi ide-ide kiri untuk tumbuh subur.
PKI di Solo tidak hanya bergerak dalam ranah politik, tetapi juga sosial dan budaya. Sayap kebudayaan mereka, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), berhasil menarik banyak seniman, budayawan, dan intelektual. Melalui karya sastra, teater, musik, dan seni rupa, Lekra menyebarkan gagasan komunis dengan cara yang membumi. Hal ini membuat PKI tampil bukan hanya sebagai partai politik, melainkan juga gerakan kebudayaan yang berbaur dengan kehidupan warga sehari-hari.
Selain itu, PKI memiliki organisasi massa yang militan, salah satunya Barisan Banteng. Organisasi ini menjadi kekuatan jalanan yang cukup besar di Solo. Mereka aktif dalam demonstrasi, menentang Kasunanan Surakarta yang dianggap simbol feodalisme, bahkan terlibat dalam aksi penculikan pejabat. Sejak sebelum 1956, pengaruh PKI di Solo sudah begitu dominan, hingga pejabat-pejabat lokal banyak yang terafiliasi dengan komunis.
Di bidang perburuhan, pengaruh PKI mengakar kuat melalui SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). SOBSI membangun basis dukungan di kalangan buruh pabrik, pekerja transportasi, dan sektor perkotaan lainnya. Organisasi ini tidak hanya menyuarakan hak-hak buruh, tetapi juga mengorganisasi mogok kerja dan program kesejahteraan yang membuat PKI semakin dekat dengan rakyat. Dukungan buruh dan tani inilah yang menjadikan Solo sebagai salah satu pusat kekuatan PKI di Indonesia.
Kekuatan PKI di Solo membuat kota ini sering dipandang sebagai “laboratorium sosial-politik” gerakan kiri. Kombinasi antara basis buruh, jaringan kebudayaan melalui Lekra, serta kekuatan militan Barisan Banteng menjadikan Solo identik dengan komunisme pada masa itu.
Namun, perjalanan PKI berakhir tragis setelah peristiwa G30S 1965. PKI dituduh sebagai dalang kudeta, dan sejak itu partai beserta seluruh organisasi afiliasinya diberantas total. Di Solo, jaringan budaya, organisasi buruh, hingga gerakan massa yang terhubung dengan PKI dilenyapkan. Secara politik, mereka hilang dari panggung kekuasaan, sementara secara sosial para anggotanya dan bahkan keluarganya dikucilkan. Mereka sulit mendapat akses pendidikan, pekerjaan, dan bahkan menghadapi stigma berkepanjangan.
Masa Orde Baru menegaskan penghapusan total jejak PKI, baik secara fisik maupun simbolik. Setelah kejatuhan Soeharto, stigma terhadap keluarga eks-PKI masih kuat, meskipun mulai muncul upaya merekonstruksi sejarah dengan cara yang lebih adil. Hingga kini, PKI tetap dilarang secara formal, tetapi diskusi akademik mengenai peran, dinamika, dan pengaruh mereka dalam sejarah politik Indonesia terus berkembang.