Buku ini merupakan hasil penelitian mendalam mengenai industri perkebunan sawit. Buku ini pertama kali terbit pada Mei 2022 di Amerika Serikat. Penulisnya adalah Tania Murray Li, Guru Besar Antropologi di University of Toronto, dan Pujo Semedi, Guru Besar Fakultas Antropologi Universitas Gadjah Mada. Karya ini tidak beredar luas di toko buku komersial seperti Gramedia, sebab diterbitkan melalui jaringan Aliansi Penerbit Independen yang dikenal kritis dan kerap menghadirkan karya-karya yang “mengganggu” kekuasaan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah etnografi, yakni metode riset yang berfokus pada budaya dan praktik kehidupan masyarakat sehari-hari. Pendekatan ini tidak menjadikan masyarakat sebagai objek penelitian, melainkan sebagai subjek yang memiliki pengalaman, suara, dan pengetahuan atas kehidupannya sendiri. Dengan demikian, buku ini memberikan gambaran detail tentang bagaimana masyarakat berhadapan dengan industri sawit dan dampaknya dalam kehidupan sosial.
Secara garis besar, buku ini terdiri dari beberapa bagian yang memotret dinamika perkebunan sawit, mulai dari pembukaan lahan, proses perekrutan tenaga kerja, pembagian kavling tanah, bentuk-bentuk kehidupan baru yang lahir dari industri sawit, hingga bagaimana perusahaan menancapkan kehadirannya di tengah masyarakat.
Pada bagian pendahuluan, penulis menjelaskan bagaimana pemerintah Kalimantan Barat menganggap wilayah tersebut sebagai “tanah kosong”. Tanah kosong dipersepsikan sebagai tanah yang tidak produktif, karena tidak menghasilkan kapital bagi negara. Perspektif inilah yang kemudian melatarbelakangi kebijakan membuka ruang masuknya perusahaan-perusahaan perkebunan besar.
Bab 1 membahas tentang pembukaan perkebunan. Perusahaan- asing bisa masuk ke Indonesia berkat dukungan kaki tangan pemerintah. Pada masa Sukarno, akses pihak asing sangat dibatasi. Namun, berbeda dengan era Suharto, pintu bagi perusahaan asing terbuka lebar. Buku ini mencatat bahwa masuknya perusahaan sawit juga tidak lepas dari peran Bank Dunia, yang mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia harus menjadi salah satu negara yang dieksploitasi sumber daya alamnya demi kepentingan masyarakat global.
Bab 2 menguraikan bagaimana perusahaan menggalang pekerja. Perekrutan tenaga kerja tidak banyak melibatkan masyarakat lokal Kalimantan, melainkan lebih banyak mendatangkan buruh dari Jawa. Masyarakat lokal dipandang sebagai kelas yang lebih rendah. Untuk meredam resistensi, perusahaan menjadikan pemuka adat sebagai kunci dalam melancarkan proses masuknya pekerja dari luar.
Bab 3 membahas soal kavling. Mereka yang sebelumnya memiliki tanah mendapat jatah kavling, tetapi dalam praktiknya perusahaan tetap menguasai pengelolaan tanah. Masyarakat adat umumnya tidak memiliki sertifikat tanah, sehingga posisinya sangat lemah. Hanya mereka yang memiliki sertifikat resmi yang bisa mendapat kavling, sedangkan tanah tetap dikelola perusahaan, dengan pemilik hanya menerima bagian keuntungan.Bab 4 menggambarkan bentuk-bentuk kehidupan yang tercipta dari industri sawit. Tidak ada kesetaraan gender di dalamnya, pekerja hidup tanpa jaminan sosial karena mayoritas berstatus buruh lepas. Kehidupan para pekerja sangat rentan. Buku ini memperlihatkan bahwa di mana ada praktik perampasan tanah, di situ pula lahir bentuk-bentuk ketidakadilan baru, baik dalam hubungan kerja, sosial, maupun budaya.