Oleh Aqnan Syandi Syahsena
Secara formal, Indonesia menjamin kebebasan berpendapat. Tetapi dalam praktiknya masih terdapat banyak kasus yang menunjukkan adanya pembatasan terhadap ekspresi masyarakat. Di satu sisi, masyarakat diberi ruang untuk menyuarakan pendapat, namun disisi lain, terdapat banyak kasus hukum yang justru mengekang kebebasan tersebut.
Salah satu isu yang menjadi sorotan adalah banyaknya kasus melibatkan mahasiswa dan aktivis yang diproses karena menyuarakan pendapatnya, baik melalui tulisan maupun gambar di media sosial. Contoh yang sempat ramai adalah kasus mahasiswa ITB yang membuat meme dan kemudian dikenakan pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Padahal, meme sering kali merupakan bentuk ekspresi, kritik sosial ataupun karya seni, bukan sebuah tindakan kriminal.
Di era digital ini, media sosial memegang peran dalam kehidupan demokrasi. Informasi menyebar sangat cepat dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat kini tak hanya sebagai penerima informasi, tetapi juga sebagai produsen informasi. Mereka bisa mengangkat isu, memberikan pendapat, bahkan mereka dapat menekan pemerintah maupun aparat untuk bertindak melalui kekuatan viralitas. Meskipun pemerintah kadang merespons isu viral secara reaktif, tetapi belum sepenuhnya membangun sistem yang mendukung kebebasan berekspresi secara menyeluruh dan berlaku adil.
Peran netizen sangat penting disini. Banyak kasus sosial dan keadilan baru mendapat perhatian publik setelah viral di media sosial. Dengan kata lain “no viral no justice”. Maka, netizen memiliki peran penting untuk menjadi penggerak opini publik. Namun, tanggung jawab juga diperlukan. Tidak semua opini boleh disampaikan tanpa landasan. Masyarakat harus memahami bahwa kebebasan berpendapat bukan berarti bebas tanpa batasan. Opini harus didasarkan pada informasi yang akurat, tujuan yang membangun, dan penyampaian yang etis.