Oleh; Muhammad Zein
Populisme merupakan strategi politik yang kerap dimanfaatkan untuk menarik simpati rakyat dengan mengklaim bahwa pemimpin populis mewakili suara rakyat secara langsung. Salah satu ciri utama populisme adalah pendekatan jangka pendek terhadap penyelesaian masalah, yang cenderung mengabaikan solusi struktural dan berkelanjutan. Populisme muncul sebagai respons dari kegagalan sistem dalam mensejahterakan rakyat, tetapi jika tidak dikontrol dengan baik, ia justru bisa merusak tatanan demokrasi. Seperti yang disampaikan oleh Ridwan Kamil, populisme adalah akibat dari cacatnya demokrasi itu sendiri.
Pemimpin populis seringkali memposisikan dirinya sebagai “wakil rakyat sejati” dan mengkritik elit politik yang dianggap bertanggung jawab atas ketimpangan dan ketidakadilan. Mereka membangun narasi bahwa siapapun yang tidak sejalan dengan mereka dianggap sebagai lawan rakyat.
Dalam negara demokrasi, populisme seringkali menghadirkan ketegangan. Di satu sisi populisme muncul sebagai respons terhadap kegagalan elit dalam memenuhi aspirasi rakyat. Tetapi disisi lain, pendekatan populis dapat merusak tatanan demokrasi dengan memojokkan oposisi dan mempersempit ruang dialog.
Fenomena populisme di Indonesia mulai terlihat jelas sejak Pemilu 2014, di mana narasi populis mulai mendominasi kampanye politik. Figur seperti Joko Widodo (Jokowi) dianggap memanfaatkan pendekatan populis untuk membangun citra sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat. Saat ini, muncul figur lain seperti Dedi Mulyadi yang menggunakan strategi serupa agar mendapat simpati oleh publik.
Peran Media Sosial dalam Populisme
Media sosial turut memperkuat penyebaran populisme. Banyak pejabat yang aktif menampilkan diri sedang ‘turun ke lapangan’ atau dekat dengan masyarakat demi membangun citra sebagai pemimpin merakyat. Tindakan ini kadang lebih dianggap sebagai pencitraan daripada substansi kebijakan.
Salah satu contoh kebijakan yang dinilai populis adalah kebijakan bantuan tunai dari Menteri Keuangan Sri Mulyani, seperti pemberian bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp300.000 per bulan. Meskipun kebijakan ini terlihat pro-rakyat, namun seringkali dianggap tidak menyentuh akar persoalan kemiskinan secara struktural.
Dampak Negatif Populisme
- Populisme seringkali memanipulasi emosi rakyat dan menjanjikan hal-hal yang tidak realistis.
- Melemahkan Demokrasi dengan mengaburkan batas antara realitas dan retorika, populisme justru memperlemah institusi demokrasi.
- Populisme menyederhanakan permasalahan kompleks menjadi solusi instan dan ekstrem.
- Menciptakan Polarisasi: Populisme menciptakan pembelahan sosial melalui narasi “kami vs mereka”.
Upaya Menanggulangi Populisme
- Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang mendalam bahwa populisme bukan solusi jangka panjang, tetapi lebih kepada strategi politik yang berisiko.
- Penguatan Literasi Politik: Pemilih harus memahami bahwa tidak semua kebijakan pro-rakyat bersifat populis, dan perlu menilai secara kritis substansi dari kebijakan tersebut.
- Media sosial dapat digunakan untuk menyebarkan informasi yang kredibel dan edukatif tentang bahaya populisme yang berlebihan.