Gaya Baru Militerisme di Ruang Sipil

Kekhawatiran terhadap kembalinya militer ke ruang-ruang sipil kembali mengemuka seiring munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI 2025. RUU ini membuka peluang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil tanpa harus pensiun lebih dulu. Hal ini jelas mengancam prinsip reformasi yang selama ini berupaya menempatkan militer kembali ke barak. Kenyataan ini mengingatkan publik pada masa Orde Baru, ketika militer tidak hanya berperan dalam pertahanan, tetapi juga secara aktif mengisi posisi pemerintahan dan legislatif melalui doktrin dwifungsi ABRI.

Salah satu akar dari praktek ini adalah gagasan “Jalan Tengah” yang dikemukakan oleh Jenderal A.H. Nasution pada tahun 1957. Menurut doktrin ini, militer tidak hanya bertugas dalam bidang pertahanan, tetapi juga dapat mengambil peran dalam bidang politik, sebagai penengah dalam situasi politik yang tidak stabil. Namun ketika peran ini dilembagakan secara formal di era Orde Baru, kekuasaan militer menjadi tidak terkendali. Mereka tidak hanya menjadi alat pertahanan, tetapi juga pengatur arah kebijakan negara. Setelah Reformasi 1998, peran politik militer secara resmi dicabut. Namun kini, celah bagi militer untuk kembali masuk ke ruang sipil perlahan terbuka lagi.

Situasi ini menjadi semakin mengkhawatirkan dengan terpilihnya kembali tokoh berlatar belakang militer sebagai presiden. Dalam hal ini, perhatian tertuju pada Prabowo Subianto, seorang mantan jenderal. Kekhawatiran muncul bahwa masa pemerintahannya bisa memperluas akses militer ke jabatan-jabatan sipil. Loyalitas tunggal yang menjadi karakteristik institusi militer menjadikan relasi atasan-bawahan bersifat vertikal dan tak terbantahkan. Jika pucuk kekuasaan sipil diisi oleh militer, maka kontrol sipil atas militer dapat melemah, bahkan hilang. Padahal, jabatan birokrasi yang bukan dipilih langsung oleh rakyat tetap memiliki kekuasaan atas anggaran dan kebijakan publik. Jika posisi-posisi ini mulai didominasi oleh militer, maka ancamannya tidak hanya simbolis, melainkan struktural.

Ketegangan juga terlihat dalam relasi antara TNI dan Polri. Contoh yang mencolok adalah persoalan perebutan wilayah empat pulau di Aceh yang kini diambil alih oleh Provinsi Sumatera Utara, mencerminkan gesekan antar lembaga keamanan negara. Sementara itu, di berbagai daerah, pengaruh militer juga tampak berbeda. Misalnya, di Jawa Barat, struktur sosial sipil lebih lemah, sehingga militer dapat dengan mudah membentuk organisasi masyarakat (ormas) sebagai saluran pengaruh. Ini berbeda dengan Jawa Tengah, yang masih memiliki struktur sosial sipil yang kuat. Di Jawa Barat, militer bahkan menerapkan strategi populis dan menyamarkan diri sebagai bagian dari masyarakat sipil, meskipun secara institusional mereka tetap berada dalam struktur komando militer.

Di tingkat nasional, pemerintahan Jokowi juga menunjukkan kecenderungan memperbesar peran aparat keamanan, seperti dengan perekrutan Brimob secara besar-besaran. Langkah ini mencerminkan pendekatan yang lebih mengandalkan keamanan dibanding memperkuat kapasitas sipil. Tugas militer yang semestinya terbatas pada pertahanan luar, kini melebar hingga ke urusan-urusan domestik seperti birokrasi dan kementerian. Ketika militer mulai mengisi jabatan-jabatan sipil, masalah yang timbul tidak sekadar administratif, tetapi menyangkut substansi fungsi institusi.

Yang lebih berbahaya, sesungguhnya bukan hanya soal posisi, tetapi soal budaya dan pengaruh sosial-politik. Militer memiliki kemampuan membentuk jejaring pengaruh melalui jalur formal maupun informal. Ketika militer berhasil menanamkan identitas mereka dalam budaya politik masyarakat, mereka tidak lagi memerlukan partai politik atau pemilu untuk menguasai ruang kekuasaan. Ormas, simbol-simbol nasionalisme, serta strategi populisme menjadi alat mereka untuk mengakses dan mempengaruhi publik secara masif. Dalam kondisi ini, demokrasi bisa tetap tampak berjalan di permukaan, tetapi arah negara ditentukan oleh kekuatan di luar kontrol rakyat.

Dengan segala dinamika tersebut, tendensi militerisme gaya baru ini seharusnya menjadi alarm serius. Bukan hanya karena ia melanggar semangat reformasi, tetapi karena ia membuka jalan pada terbentuknya sistem kekuasaan yang tidak demokratis. Ketika militer masuk ke ranah sipil tanpa batasan, maka sulit untuk memastikan bahwa negara ini dijalankan atas dasar mandat rakyat. Yang muncul justru negara yang lebih kuat dari rakyatnya dan inilah yang menjadi ancaman paling nyata terhadap demokrasi.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top