Stop Victim Blaming Bangun Lingkungan Aman dari Pelecehan Seksual

Oleh; Syahrowani Nur Syifa

Pelecehan seksual merupakan segala bentuk perilaku yang bernuansa seksual dan tidak diinginkan oleh korban. Perilaku ini bisa muncul dalam bentuk fisik maupun verbal, serta tidak selalu melibatkan sentuhan langsung. Salah satu contoh umum dari pelecehan seksual verbal adalah catcalling—komentar atau siulan bernada seksual di tempat umum—yang sering kali dianggap remeh padahal merupakan bentuk pelecehan yang nyata. Pelecehan seksual juga tidak terbatas pada bagian tubuh tertentu dan dapat terjadi di mana saja, termasuk di lingkungan kerja, transportasi umum, hingga ruang digital.

Masalah pelecehan seksual di Indonesia tergolong mengkhawatirkan. Data menunjukkan bahwa sekitar 82% perempuan Indonesia pernah mengalami bentuk pelecehan seksual. Fakta ini mengindikasikan bahwa kekerasan seksual bukanlah persoalan individual semata, melainkan persoalan struktural dan sosial yang harus disadari bersama. Namun, korban seringkali memilih diam karena merasa tidak aman untuk bersuara, takut diintimidasi, dipermalukan, atau bahkan mengalami pelecehan kembali jika mereka melapor.

Victim Blaming dan Dampaknya

Victim blaming adalah tindakan menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya. Fenomena ini sering ditemukan di media sosial, seperti TikTok, di mana korban dikomentari secara negatif—entah karena pakaiannya, sikapnya, atau pilihannya untuk diam. Padahal, kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang dirasakan korban. Sikap menyalahkan justru memperburuk kondisi psikologis korban dan menjadi salah satu alasan mengapa banyak korban enggan melapor. Dalam menghadapi kasus pelecehan seksual, dukungan sosial yang empatik dan aman jauh lebih penting daripada menilai atau memberikan saran yang merendahkan.

Cara Menanggapi Pelecehan: Metode 5D

Ketika menyaksikan tindakan pelecehan seksual, ada pendekatan intervensi yang bisa dilakukan oleh orang sekitar, yakni metode 5D:

  • Direct: Menegur pelaku secara langsung, namun harus dipertimbangkan apakah situasinya aman bagi korban dan penolong.
  • Distract: Mengalihkan perhatian dengan menciptakan gangguan situasional.
  • Delegate: Melaporkan kejadian kepada pihak yang berwenang seperti petugas keamanan.
  • Delay: Memberikan dukungan kepada korban setelah kejadian, misalnya menanyakan kondisi dan menawarkan bantuan.
  • Document: Merekam kejadian untuk dijadikan bukti, namun harus digunakan secara etis dan tidak disebarluaskan sembarangan.
Pentingnya Edukasi Seksual Sejak Dini

Edukasi seksual sebaiknya diberikan sejak dini, terutama ketika anak-anak mulai menunjukkan rasa ingin tahu mengenai tubuh dan relasi. Tujuan dari edukasi ini adalah untuk memberikan pemahaman tentang batasan tubuh, rasa aman, serta hak atas integritas diri. Edukasi yang tepat juga dapat mencegah terjadinya pelecehan dan membangun kepercayaan diri dalam menyampaikan pengalaman yang tidak menyenangkan.

 Konsep Diri dan Dukungan Sosial

Dalam konteks psikologis, penting untuk memahami perbedaan antara ideal self dan self-concept. Ideal self adalah gambaran tentang diri yang kita inginkan, seringkali dipengaruhi oleh apa yang kita lihat di lingkungan sekitar. Sementara self-concept mencerminkan penilaian kita terhadap diri sendiri berdasarkan pengalaman dan interaksi sosial. Ketika seseorang mengalami pelecehan, dukungan sosial menjadi kunci pemulihan. Namun, bentuk dukungan harus sensitif, karena tidak semua saran atau komentar yang terlihat baik bisa diterima secara positif oleh korban. Mendengarkan dengan empati dan tidak menghakimi jauh lebih berarti daripada sekadar memberi nasihat.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top